GARA-GARA
GAME
“Bu,
aku mau main.” Eka melempar tasnya ke kamar dan segera keluar.
“Eh, makan dulu.” Ingat ibunya.
“Aku nggak laper.” Balas Eka sembari berlari keluar.
“Eh, makan dulu.” Ingat ibunya.
“Aku nggak laper.” Balas Eka sembari berlari keluar.
Sejak
sebuah warnet dibuka di perumahan tempat tinggal Eka, ia kerap
mendatanginya untuk main game online. Sebenarnya di rumah Eka sudah
ada internetnya dan bahkan lebih cepat. Tapi kata Eka internet di
rumahnya tidak kuat untuk main game online.
Seharusnya
di usianya yang kelas Sembilan, ia harus fofus ke UN. Bukannya
kerajingan game online. Dulu saat SD kelas enam ia sering main
playstation di dekat rumahnya. Orangtuanya sudah mengingatkannya
untuk tidak main tapi tidak ia pedulikan. Beruntungnya umur
playstation itu tidak lama. Dua bulan sebelum UN Eka, playstation itu
gulung tikar. Entah apa penyebabnya.
Kini
ia kena virus game online. Kadang sampai lupa belajar dan
menghabiskan uang sakunya. Virus game online sebenarnya juga mengenai
Lilan, adik perempuannya. Lilan juga sering main game online di
rumah. Namun ia masih sadar dan masih belajar untuk UN SD nya. Ia
membatasi dirinya sendiri dengan tidak main game jika sudah maghrib
kecuali saat hari Sabtu.
“Eka,
kamu sadar kan. Kamu sudah kelas Sembilan. Mbok ya dikurangi main
gamenya.” Nasehat ibunya setelah Eka pulang.
“Nanti aku belajar kok, Bu.” Elak Eka.
“Iya, ibu tau. Kamu memang pandai, menurun dari ayahmu. Ndak belajar pun kamu bisa dapat nilai baik. Tapi kan boros, Nak. Uang sakumu selalu habis di hari Rabu.” Terang ibunya panjang.
Eka terdiam mendengar nasehat ibunya. Ia berlalu meninggalkan ibunya tanpa sepatah kata. Ia menuju kamar dan membaca sekilas buku catatan biologinya. Besok ada ulangan biologi. Tapi Eka tidak belajar dengan sungguh-sungguh, seperti biasanya. Hanya membaca sekedarnya.
“Nanti aku belajar kok, Bu.” Elak Eka.
“Iya, ibu tau. Kamu memang pandai, menurun dari ayahmu. Ndak belajar pun kamu bisa dapat nilai baik. Tapi kan boros, Nak. Uang sakumu selalu habis di hari Rabu.” Terang ibunya panjang.
Eka terdiam mendengar nasehat ibunya. Ia berlalu meninggalkan ibunya tanpa sepatah kata. Ia menuju kamar dan membaca sekilas buku catatan biologinya. Besok ada ulangan biologi. Tapi Eka tidak belajar dengan sungguh-sungguh, seperti biasanya. Hanya membaca sekedarnya.
“Dapet
berapa, Ka?” Tanya Ferdi teman sekelas Eka seusai ulangan.
“Delapan setengah.” Balas Eka cuek.
“Heran aku, kok kamu bisa dapat nilai baik padahal nggak belajar?” Eka hanya mengangkat bahunya mendengar perkataan temannya itu.
“Delapan setengah.” Balas Eka cuek.
“Heran aku, kok kamu bisa dapat nilai baik padahal nggak belajar?” Eka hanya mengangkat bahunya mendengar perkataan temannya itu.
Sepulang
sekolah seperti biasa, Eka langsung menuju warnet. Ia asyik tenggelam
dalam gamenya. Saat pulang, ia berpapasan dengan ayahnya yang baru
pulang mengajar.
“Darimana, Ka?” Tanya ayah di depan pagar rumah.
“Warnet.” Jawab Eka singkat.
“Tuh, kan. Warnet lagi warnet lagi. Ayah harusnya prihatin dengan anak kita ini.” Sahut ibu dari teras.
“Biarkan saja, Bu.” Ayah mengedipkan sebelah matanya. Sepertinya beliau memiliki rencana sendiri.
“Darimana, Ka?” Tanya ayah di depan pagar rumah.
“Warnet.” Jawab Eka singkat.
“Tuh, kan. Warnet lagi warnet lagi. Ayah harusnya prihatin dengan anak kita ini.” Sahut ibu dari teras.
“Biarkan saja, Bu.” Ayah mengedipkan sebelah matanya. Sepertinya beliau memiliki rencana sendiri.
Senin
pagi, ayah membuat pengumuman yang mengejutkan.
“Eka, Lilan. Mulai minggu ini uang saku kalian ayah tambahi duapuluh lima persen.” Sontak Eka dan Lilan terkejut. Raut wajah gembira terlihat jelas.
“Serius?” ibu shock mendengarnya. Pasalnya, Eka akan semakin sering ke warnet kalo begini jadinya.
“Iya, ayah sudah pikirkan ini dengan matang.” Ayah kembali meyakinkan. Ibu masih tidak terima dengan keputusan ayah. Tapi ayah cuek saja dengan ekspresi ibu yang protes berat.
“Eka, Lilan. Mulai minggu ini uang saku kalian ayah tambahi duapuluh lima persen.” Sontak Eka dan Lilan terkejut. Raut wajah gembira terlihat jelas.
“Serius?” ibu shock mendengarnya. Pasalnya, Eka akan semakin sering ke warnet kalo begini jadinya.
“Iya, ayah sudah pikirkan ini dengan matang.” Ayah kembali meyakinkan. Ibu masih tidak terima dengan keputusan ayah. Tapi ayah cuek saja dengan ekspresi ibu yang protes berat.
Setelah
mendapat kenaikan uang saku, Pepno semakin lama berada di warnet.
Bahkan Try Out pertama yang sebentar lagi tidak
mempengaruhinya.
“Sebentar lagi Try Out nih.” Sindir ibu.
“Try Out nggak usah belajar. Main game aja sana.” Sahut ayah yang sedang membaca Koran. Pepno yang mendengarnya tersenyum tipis.
“Sebentar lagi Try Out nih.” Sindir ibu.
“Try Out nggak usah belajar. Main game aja sana.” Sahut ayah yang sedang membaca Koran. Pepno yang mendengarnya tersenyum tipis.
Benar
saja, malam sebelum Try Out Pepno tidak belajar. Ia asyik browsingan
di rumah. Tak lupa sore sebelumnya ia sudah menghabiskan sisa uang
sakunya di warnet. Esoknya, saat di sekolah. Bukannya diskusi soal
pelajaran Bahasa Indonesia, Pepno dan Ferdi malah membahas game yang
mereka mainkan selama di warnet.
“Aku sudah level 20.” Ujar Pepno bersemangat.
“Aku level 22.” Balas Ferdi tak kalah semangat.
“Senjatamu udah komplit?”
“Belum, masih kurang sekitar sepuluh.”
“Apa nggak beli cash?”
“Nggak, lagi seret.”
“Aku sudah level 20.” Ujar Pepno bersemangat.
“Aku level 22.” Balas Ferdi tak kalah semangat.
“Senjatamu udah komplit?”
“Belum, masih kurang sekitar sepuluh.”
“Apa nggak beli cash?”
“Nggak, lagi seret.”
Sepulang
Try Out Pepno pun pergi ke warnet. Hari-hari berikutnya juga. Tapi ia
tetap belajar meski hanya sekilas. Kepandaiannya terbukti saat
pengumuman. Ia berhasil mendapat peringkat lima.
“Tuh kan, Bu. Aku bisa peringkat lima.” Pamer Pepno.
“Iya iya, ibu tau. Besok Minggu kita mau ke bazaar.” Terang ibu.
“Bazar? Bazaar apa?” Tanya Lilan antusias.
“Macem-macem. Ada baju, buku, barang elektronik. Dan semuanya harganya miring!” ibu bersemangat.
“Wah…” Pepno dan Lilan antusias sekali.
“Tapi, ingat. Ibu sama ayah nggak akan bayarin. Kalian beli sendiri, nggak ada subsidi. Titik.” Tegas ibu.
“Kok gitu sih?” protes Pepno. Secara, dia tidak punya tabungan. Uangnya habis untuk game online.
“Ya itu maksud ayah nambahi uang saku kalian. Supaya bisa beli barang kebutuhan sendiri.”
“Paling punya Kak Pepno habis buat main game.” Ledek Lilan.
“Tuh kan, Bu. Aku bisa peringkat lima.” Pamer Pepno.
“Iya iya, ibu tau. Besok Minggu kita mau ke bazaar.” Terang ibu.
“Bazar? Bazaar apa?” Tanya Lilan antusias.
“Macem-macem. Ada baju, buku, barang elektronik. Dan semuanya harganya miring!” ibu bersemangat.
“Wah…” Pepno dan Lilan antusias sekali.
“Tapi, ingat. Ibu sama ayah nggak akan bayarin. Kalian beli sendiri, nggak ada subsidi. Titik.” Tegas ibu.
“Kok gitu sih?” protes Pepno. Secara, dia tidak punya tabungan. Uangnya habis untuk game online.
“Ya itu maksud ayah nambahi uang saku kalian. Supaya bisa beli barang kebutuhan sendiri.”
“Paling punya Kak Pepno habis buat main game.” Ledek Lilan.
Pepno
hanya bisa berdiam diri dan melihat-lihat saat di bazaar. Sebenarnya
ia ingin membeli headset. Harganya murah beneran. Tapi ia tak membawa
uang tabungannya. Orang nggak punya ngapain dibawa. Ia Cuma dibelikan
sarung tangan sebagai hiburan dari ayah. Tidak seperti Lilan yang
sudah memborong buku dan sibuk memilih-milih baju. Gara-gara game,
sih. Kayak gini deh jadinya. Pepno hanya bisa menyesali perbuatannya.
0 Response to "Contoh Cerpen GARA GARA GAME"
Post a Comment